Geografi
Penduduk setempat menyebut kepulauan ini
Nuhu Evav ("Kepulauan Evav") atau
Tanat Evav
("Negeri Evav"), tetapi dikenal dengan nama Kei atau Kai oleh penduduk
dari pulau-pulau tetangga. "Kai" sebenarnya adalah sebutan dari zaman
kolonial
Hindia Belanda, dan masih digunakan dalam buku-buku yang ditulis berdasarkan sumber-sumber lama. Kepulauan ini terletak di selatan jazirah
Kepala Burung Irian Jaya, di sebelah barat
Kepulauan Aru, dan di timur laut
Kepulauan Tanimbar.
Kepulauan Kai terdiri atas sejumlah pulau, di antaranya adalah
(Setelah Pemekaran Kota Tual tahun 2008 sebagai Kota Administratif,
maka Pulau Dullah, Pulau Kuur, Pulau Taam dan tayando menjadi daerah
Kota Tual, sedangkan Pulauh Kei Kecil, Kei Besar, Tanimbar kei menjadi
Daerah Kabupaten Maluku Tenggara (Kabupaten Induk) dengan Ibukota
Kabupaten Langgur (Terletak di pulau kei kecil). Sejak 1 Januari 2010
Pusat pemerintah kabupaten maluku tenggara resmi berada di langgur
walaupun penyerahan aset kabupaten ke pemerintah kota tual baru
dilaksanakan tanggal 23 januari 2010)
Selain itu masih terdapat sejumlah pulau kecil tak berpenghuni. Total
luas area daratan Kepulauan Kai adalah 1438 km² (555 mil²).
Kei Besar bergunung dan berhutan lebat. Kei Kecil datar dan memiliki
populasi terbanyak. Pulau ini sebenarnya merupakan sebuah pulau koral
yang terangkat ke permukaan laut. Ibukota kepulauan ini adalah
Kota Tual, yang mayoritas warganya beragama
Islam. Tak jauh dari Tual terletak
Langgur yang merupakan pusat bagi warga
Kristiani. Kei termasyhur berkat keindahan pantai-pantainya, misalnya pantai
Pasir Panjang.
Kepulauan Kai merupakan bagian dari daerah
Wallacea, kumpulan pulau-pulau Indonesia yang dipisahkan oleh laut dalam dari lempeng
Benua Asia maupun
Australia, dan tidak pernah tersambung dengan kedua benua tersebut. Sebab itu, hanya terdapat sedikit jenis
mamalia lokal di Kepulauan Kai.
Sejarah
Prasejarah
Tom Goodman bersama tim ekspedisi
Duyikan dari
Universitas Hawaii adalah salah satu dari beberapa ilmuwan asing yang meneliti
gua kuno
Ohoidertavun
yang berada pada ketinggian sekitar 15 meter dari permukaan laut di Kei
Kecil. Di sekitar gua kuno ini ditemukan dinding batu sepanjang 200
meter yang terukir apik dengan beragam gambar dan lukisan/tulisan kuno.
Lukisan kuno yang terpajang di dinding goa Ohoidertavun menggambarkan
beragam kehidupan masyarakat pada masa lampau dalam kaitannya dengan
alam sekitarnya seperti
matahari,
bulan, dan
bintang, serta
perahu
sebagai sarana transportasi, kehidupan fauna dan flora, bahkan lukisan
topeng. Pada situs tersebut juga tergambar lukisan mengenai seni tari
gembira sebagai ungkapan syukur yang lebih terfokus pada kehidupan
religius. Lukisan di dinding goa Ohoidertavun mengekspresikan tingginya
kebudayaan bangsa Indonesia pada ribuan tahun silam yang memiliki
spesifikasi yang serupa dengan karya lukisan masyarakat asli
Papua dan
Australia.
Adanya kemiripan sejarah dan budaya ini mengundang perhatian khusus
Direktur/Produser Film dari Australia, Marcus Gillezeau untuk
mengabdikannya dalam film dokumenter untuk disebarluaskan ke seluruh
dunia guna mengundang semakin banyak ilmuwan, wisatawan, dan petualang
berkunjung ke daerah rempah-rempah ini, yang pernah kesohor pada masa
lalu.
Apa yang ditemukan di goa Ohoidertavun merupakan sesuatu yang
tergolong langka, unik, dan luar biasa menarik untuk diteliti dan
dikaji, ungkap Marcus. Karenanya perlu diangkat ke permukaan untuk
dipromosikan karena lukisan tangan para leluhur yang tergolong langka di
tebing batu setinggi 24 meter itu secara antropologi mengisyaratkan
adanya semacam kesamaan hubungan keturunan antara suku asli Kepulauan
Kei dengan
penduduk asli Australia.
Sejarah Lisan
Penduduk Kepulauan Kei hampir tidak memiliki catatan sejarah tertulis. Sebaliknya mereka memiliki
Tom-Tad,
yakni hikayat-hikayat lisan yang disertai dengan benda-benda warisan
tertentu sebagai penjamin keontentikan hikayat itu. Sebagian besar
hikayat ini dibumbui dongeng atau lambang-lambang, akan tetapi dianggap
sepenuhnya benar secara harafiah oleh pribumi kepulauan ini pada
umumnya.
Menurut hikayat setempat, leluhur orang Kei berasal dari
Bal (
Bali), wilayah kerajaan
Majapahit
di kawasan Barat Nusantara. Konon dua perahu utama berlayar dari pulau
Bali, masing-masing dinahkodai oleh Hala'ai Deu dan Hala'ai Jangra.
Setibanya di kepulauan Kei, dua perahu ini berpisah. Perahu rombongan
Jangra menepi di
Desa Ler-Ohoylim, pulau Kei Besar, dan perahu rombongan Deu berlabuh untuk pertama kalinya di Desa Letvuan, Pulau Kei Kecil.
Letvuan dijadikan pusat pemerintahan, tempat dikembangkannya hukum
adat Larvul Ngabal (Darah merah dan tombak Bali) atas gagasan Putri Dit
Sakmas. Bukti hubungan dengan Bali ini di Kei kecil mencakup beberapa
benda warisan dan sebuah tempat berlabuh yang dinamakan
Bal Sorbay (Bali-Surabaya), yakni tempat perahu keluarga kerajaan itu dulu berlabuh.
Hala'ai Jangra dan Hala'ai Deu adalah gelar, bukan nama diri. Nama
asli mereka tidak lagi diketahui. Sebagian pemuka adat Kei mengatakan
bahwa nama asli Hala'ai Deu adalah Esdeu, ada yang mengatakan Kasdeu,
ada pula yang berpendapat bahwa nama sebenarnya adalah Sadeu, atau
Sadewa, atau pun Dewa.
Selain Bali, orang Kei yakin bahwa negeri-negeri asal leluhur mereka mencakup
Sumbau (
Pulau Sumbawa),
Vutun (Buton),
Seran Ngoran (
Pulau Seram dan Gorom di
Maluku Tengah), serta
Dalo Ternat (Jailolo dan
Ternate).
Zaman modern
Pulau kecil Tanimbar-Kei bukanlah bagian dari
Kepulauan Tanimbar,
melainkan bagian dari Kepulauan Kai dan berpenghuni kurang dari 1000
jiwa, warganya sangat tradisional. Setengah dari populasi pulau ini
mengaku beragama
Hindu, namun kenyataannya mereka mempraktekkan pemujaan leluhur, yakni sistem religi asli Kepulauan Kai.
Pada tahun 1999 pecah kerusuhan antara warga Muslim dan Kristiani di
Kota Ambon yang kemudian merambat pula ke Kepulauan Kai, akan tetapi dengan cepat mereda serta tidak banyak menelan korban jiwa.
Bahasa
Ada tiga bahasa rumpun austronesia yang dipertuturkan di Kepulauan
Kai; Bahasa Kei (Veveu Evav) adalah yang paling luas pemakaiannya, yakni
di 207 desa di Kei Kecil, Kei Besar, dan pulau-pulau sekitarnya.
Penduduk Pulau Kur dan Kamear menggunakan Bahasa Kur (Veveu Kuur) dalam
percakapan sehari-hari, Bahasa Kei mereka gunakan sebagai lingua franca.
Bahasa Banda (Veveu Wadan) digunakan di desa Banda Eli (Wadan El)dan
Banda-Elat (Wadan Elat) di bagian barat dan Timur Laut Pulau Kei Besar.
Para Pengguna Bahasa Banda berasal dari Kepulauan Banda, tempat di mana
bahasa itu tidak lagi digunakan. Bahasa Kei tidak memiliki sistem
tulisan sendiri. Para misionaris Katolik dari Belanda menuliskan
kata-kata Bahasa Kai dengan suatu bentuk variasi penggunaan abjad
Romawi.
Kosa Kata
Beberapa kata dalam Bahasa Kei memiliki fonem V (seperti V pada
Via dalam
Bahasa Latin) yang berbeda dengan
fonem F dan P. Penduduk wilayah Utara Pulau Kei Besar membedakan fonem R seperti pada kata
Rata dalam Bahasa Indonesia, dengan fonem R seperti pada
français /fʁɑ̃ sɛ/ dalam bahasa Perancis. Meskipun demikian, dalam bentuk tertulis, kedua fonem ini tidak dibedakan.
Kosa kata Bahasa Kei modern mencakup banyak kata serapan dari banyak
bahasa lain terutama Bahasa Melayu. Sebagian besar adalah nomina, yakni
nama beberapa benda yang baru dikenal masyarakat Kepulauan Kei pada
akhir abad ke-19. Kata-kata yang memiliki huruf P dan G dapat dipastikan
merupakan kata serapan, karena kedua fonem tersebut tidak dikenal dalam
kosa kata Bahasa Kei asli.
Contoh beberapa kata serapan :
- Gur = Guru
- Agam, Angam, Ayngam = Agama
- Masikit = Masjid
- Pen = Pena
Perekonomian
Kepulauan Kei dianugerahi terumbu karang yang produktif dan
berlimpah, dikelilingi laut yang dalam. Seperti kebanyakan masyarakat
Maluku, mata pencaharian orang Kei merupakan suatu kombinasi dari
kegiatan bercocok-tanam, berburu, dan menangkap ikan di perairan sekitar
pantai. Karena Kepulauan Kei tidak menghasilkan rempah-rempah ataupun
komoditas yang bernilai tinggi lainnya selain kayu, perahu dan teripang,
maka Kei luput dari perhatian pedagang dan kolonialis Barat sampai
dasawarsa terakhir abad ke-19. Ikan dan kerang berlimpah ruah di laut
sekitar Kepulauan Kei. Menangkap ikan adalah aktivitas sekunder;
keluarga-keluarga umumnya menghabiskan lebih banyak waktu untuk bercocok
tanam. Warga desa menangkap ikan dengan menggunakan perangkap ikan,
kail, lembing, dan jala, atau dengan mengumpulkan ikan-ikan yang
terjebak di terumbu karang dan ceruk-ceruk pantai pada saat air laut
surut. Sejak tahun 1980an, banyak nelayan mulai menggunakan jaring nilon
dan motor tempel. Beberapa warga desa memperdagangkan sebahagian hasil
panen atau tangkapannya kepada para tengkulak atau di pasar-pasar kota
Tual dan Elat. Sumber pendapatan tunai lainnya mencakup penjualan kopra
dan cangkang kerang lola (Trochus niloticux), usaha dagang eceran,
sumbangan dari anggota keluarga di rantau, dan gaji pegawai negeri.
Alat Musik
Alat musik tradisional di Kepulauan Kai adalah:
- Savarngil (Suling): Seruling kecil lokal sepanjang 4 sampai 8 inci, terbuka di kedua ujung, memiliki enam lubang tempat jari, terbuat dari bambu, dan tanpa kunci nada.
- Tiva (Gendang): Terdiri atas selembar membran dari kulit sapi yang direntangkan erat-erat menutupi salah satu ujung dari sebuah wadah yang berlubang.
- Dada (Gong): Alat musik tabuh dengan jari-jari 12 sampai 15 inci,
terbuat dari tembaga atau besi dengan tonjolan di bagian tengah.
Tarian
Sosoy Temar-Rubil (Tarian Perang) yang penuh semangat hanya ditarikan
oleh kaum pria, sementara tarian yang lembut seperti Sosoy Kibas (Tari
Kipas) hanya ditarikan oleh kaum wanita. Gerakan-gerakan yang tidak
terlampau lembut maupun beringas hanya terdapat dalam Sosoy Sawat
(Tarian Pergaulan) dan Sosoy Yarit (Tarian Umum), dan oleh karenanya
dapat ditarikan baik oleh pria maupun wanita. Gerak-gerik yang agung dan
lemah-lembut diijinkan dalam tarian pria seperti dalam Sosoy Swar
Man-Vuun (Tarian Penghormatan), namun gerak-gerik yang cepat dan lincah
tidak terdapat dalam tarian wanita. Tarian asli Kei umumnya diciptakan
untuk tujuan penghormatan, sehingga jarang ditarikan oleh anak-anak.
Hanya orang dewasa dan remaja akil-balig yang diikutsertakan. Bahkan
sosoy Swar Man-Vuun yang dipentaskan di haluan "Bilan" (Perahu
Kebesaran) dulunya hanya ditarikan oleh pria yang sudah berkeluarga.
Penari wanita di kepulauan Kei juga menggunakan Kipas,
Yerikh
(Daun lontar yang dikeringkan) dan Penari Pria dapat menggunakan panah,
parang, Tombak dan juga bulu Kasuari dan diikatkan pada ujung tongkat
berukuran kurang lebih 10 cm.
Seperti di banyak tempat di Kepulauan Maluku, sejak zaman kolonial,
orang Kei mengenal pula dansa ala Eropa, dan kaum mudanya saat ini
tidaklah jauh tertinggal dalam seni tari kontemporer. Dansa Waltz, cha
cha cha, dan bahkan joget dangdut umum dijumpai dalam pesta-pesta
mereka.